Powered By Blogger

Kamis, 25 September 2014

Kisah inspiratif bagi pasangan baru menikah ( sebuah pengalaman )

Kisah ini ku alami sendiri, namaku Naura, biasa disapa Rara. Aku menikah baru 6 bulan dan alhamdullilah aku sekarang sedang mengandung, Allah maha baik dan sepertinya tidak ingin aku menganggur,, usia kehamilan ku masuk trimester II. Baiklah, akan ku mulai cerita ku.

Awal pertemuan ku dengan suamiku tercinta bermula saat aku main ke kantornya, kami di perkenalkan sebagai 2 insan yg sama sama sedang sendiri., sebagai seorang perantau, suamiku adalah sosok yg tegas, dia org yg tabah dan sangat sederhana, ketertarikan ku akan sopan santunnya dan tingkah lakunya membuatku enggan  menyudahi perkenalan kami, aku menerimanya masuk ke kehidupanku yg pada saat itu aku sedang bekerja di salah satu perusahaan di kota ini. Aku sedang di puncak kejayaan, sebagai seorang Single dengan otak pintar, dan uang yg cukup untuk membahagiakan diriku dan orang tuaku, aku menjelma menjadi gadis yg cukup bahagia ( secara lahiriah tentu ). 

Akhirnya kedekatanku dengan sang belahan jiwa berlangsung mudah, ramah, dan indah.. Aku menyukainya, aku suka kecerdasan dan kedewasaan, dan dia masuk kedalamnya. Walau mungkin itu penilaian awal ku.. Tp yg ku tau aku menyukainya,, 

3 bulan merajut kasih penuh kebahagiaan, aku dan dia merasa sangat mapan, kami berani melangkah ke jenjang hubungan lebih intim dan terbuka, alhamdullilah, keluarga kami menyambut baik.. Maka di bulan ke 5 hubungan kami direstui dan kamipun menikah..sangat bahagia.

Sepertinya Benar kata pujangga, alam kerap memberi tanda2 dan tugas manusia lah untuk mempelajarinya..  Menjelang pernikahanku, aku di guncang dengan konflik pekerjaan, kejenuhanku bekerja dan kelelahan ku yg amat sangat membuatku sering uring2 an.. Blm Lg harus mengurus persiapan pernikahan.. Aku dilanda stress berat.. Suamiku menenangkan.. Dia menyarankan agar aku berhenti dari pekerjaanku, dan meyakinkan ku kelak org sepertimu akan mudah mendapatkan rezeki di tempat yg jauh lebih baik. 

Aku menurut, ku ajukan pengunduran diriku segera, seperti ada yg hilang di diriku, aku yg smart, punya penghasilan, yg selama ini membuatku jauh lebih anggun.. Sekarang aku tidak punya apa2... Uang tabunganku menipis, aku yg biasa sibuk kini hanya menyendiri,, namun suamiku meyakinkan semuanya akan baik2 saja.. Aku tersenyum dan bersyukur, aku bisa menikmati kebahagiaan dgn hidupku yg baru bersama suamiku tersayang. 

Pasca pernikahan, suamiku sangat menyenangkan, pengantin baru yg berbahagia, aku di hadiahi liburan bulan madu ke Semarang ( kota asal suamiku ), , jogja ( kota pavoritku ), dan Bali. Alangkah bahagianya aku bisa berdua dengan halal dan bebas bersama org yg ku sayangi. Suamiku yg sangat ku banggakan. Mandiri, tegas dan penyayang. 

Namun prahara rumah tangga baru muncul, sepulang kami dari liburan, suamiku di mutasi kan ke kota paling tidak kuminati, Jakarta.
Dan bukan itu saja, Allah tidak membiarkanku bebas, aku di beri tanggung jawab dengan kehadiran calon buah hati kami.. Dan aku pun mengandung.

Sulit rasanya, memilih untuk bersama suamiku atau tetap di rumah org tuaku karena kondisiku yg hamil muda, aku mencintai suamiku, ingin selalu di dekatnya, sementara aku calon ibu baru, yg awam tentang kehamilan. Dan nasihat2 yg membuatku makin galau bahwa kehamilan pertama itu rawan.

Namun aku berusaha kuat, ku kuatkan diri untuk mendampingi suamiku ke Jakarta, dan masalah tidak berhenti sampai disini, gaji suamiku yg pas pasan hanya cukup untuk kami menyewa sebuah kamar kos kecil ukuran 3 X 4 meter. Di daerah padat penduduk dan kumuh di Jakarta pinggiran kali yg selalu berwarna hitam..

Panas, pengap, kotor dan bising, Jd tempatku menunggu suami tersayang ku pulang bekerja, Jakarta yg macet, buat suamiku harus berangkat lebih awal dan pulang lebih larut. Aku yg sedang mengalami morning sick dan penyakit awal kehamilan, belajar tegar dengan kebahagiaan yg terpancar saat melihat suamiku pulang berbau asap kendaraan.

Aku pandangi suamiku yg tidur di lantai sementara aku beralaskan kasur tidak empuk peninggalan pemilik kos. Tiap melihat wajah lelahnya, kucium keningnya, ku doakan dalam hati, semoga Allah melimpahkan rezeki langit dan bumi kepadamu, dan semoga Allah yg Maha Baik melindungi hati, jiwa dan ragamu. 

Aku bersabar dengan kondisi yg sangat memprihatinkan ini, aku yg terbiasa tercukupi, punya uang dan bisa Melakukan apa saja.. Harus menderita seperti ini, kadang batinku merasa tidak adil, Tp itu tidak membuatku berhenti bersyukur , aku memiliki suami yg sabar dan kuat.

Panas, dan berpeluh, itu yg aku alami tiap hari, di kamar sempit dengan celah kecil sebagai jendela tak ubahnya penjara Jd tempat bernaung ku sehari2.aku mual, parah. Aku tidak bisa kemana2, karena aku sedang mengandung, karena Jakarta bukan kota ramah bagi pendatang seperti ku. Aku memilih untuk berdiam diri di kamar tanpa hiburan apapun, hanyalah komunikasi dgn suamiku adalah hiburan paling membahagiakan. Kuhabiskan waktuku dengan ibadah, sholat, baca Alquran, membersihkan dan merapikan pakaian suamiku. Menyediakan makanan dan pakaiannya. Aku sangat bersyukur.

Hingga suatu malam aku merasakan tangan suamiku membelai ku, mencium ku dan berkata, Minggu depan kita pindah dari sini, ketempat yg lebih baik. Aku mengiyakan tanpa banyak bertanya. Dari awal kenal, aku memang tidak begitu mempertanyakan keuangan suamiku. Semua hal suamiku yg urus. Aku tidak pernah mau tau ataupun memaksa tau. Aku percayakan semua padanya. Sama seperti aku mempercayakan cinta, sayang dan hidup matiku pada suamiku.

Kami pun pindah, ke kamar kos yg lebih besar, dengan fasilitas lengkap. Tenang. Dan nyaman. Aku sangat bersyukur,, bahagia. Jauh lebih baik. Terimakasih sayang. Aku mencintaimu. 

Hari2 berlangsung lebih baik, aku mulai bisa bertahan di tempat kami yg baru, walau makan pas pasan. Tp kami bahagia. Aku berusaha menahan kesakitan ku mengandung, kurang makan, kurang gizi, tidak membuatku patah semangat. Aku tidak ingin membebani suamiku dengan masalah gizi. Hingga akhirnya terbongkar sudah bahwa kandungan ku tidak sehat pada saat kami ke dokter. Aku disarankan untuk tidak berpuasa ramadhan yg saat itu sudah Minggu pertama ramadhan. Aku diminta untuk makan bergizi dan cukup istirahat Fikiran. Aku diam dan mengangguk. Lalu suamiku memutuskan untuk mengantarku ke rumah orang tuanya di Semarang dengan harapan aku akan jauh lebih sehat dan makanku tercukupi. Aku menurut, walau dengan menggerutu karena harus berpisah dengan suamiku, namun aku menurut.  Aku merasa belum cukup berani sendiri di tengah keluarga suamiku. Dengan keadaanku yg lemah, dengan kondisiku yg tidak stabil. Dengan aku yg tidak punya penghasilan, dan tidak lagi secantik dahulu, membuatku minder.  Aku malu. Tp aku kuatkan dengan taqwaku pada AllahSWT. Aku percaya Allah sayang padaku dan bayi di kandungan ku. Aku berfikir positif.

Aku menghabiskan sisa ramadhan di rumah keluarga suamiku, alhamdullilah ku panjatkan, papa sangat baik padaku, begitupun mama dan David, adik suamiku. Aku tak perlu repot2 masak, dan aku cukup istirahat. Walau sungkan, Tp aku belajar menerima budaya dan kehidupan mereka. Aku berusaha membuat mereka tidak kecewa padaku sebagai menantu pertama. Aku bangun lebih awal untuk membersihkan dapur dan rumah, sore hari aku bersihkan halaman dan malam aku habiskan dgn membaca Alquran di kamar sambil menunggu tlp suamiku. Aku merasa usahaku cukup. Walau lemah dan kadang mual2. Namun aku mencoba memberi yg terbaik yg aku bisa. Hingga Lebaran pun tiba.

Bahagia, melihat suamiku kembali, sumringah karena keinginannya untuk berlebaran di rumah org tuanya terpenuhi, aku bahagia melihat suamiku bahagia. Kami bersilaturahmi ke rumah Keluarga mama yg letaknya cukup jauh, 6 jam perjalanan dan itu membuatku tampak konyol dan sangat lelah.  Di tengah keluarga besarnya aku memaksakan diri tersenyum walau sangat kelelahan, aku berusaha baik walau sedang tidak baik2 saja. Aku kotor, lemah dan tidak menarik di hari raya, dengan daster sederhana dan jilbab syari aku berusaha tampil di Depan keluarga. Ntahlah, aku merasa tidak sepadan. Karena memang aku tidak mampu membeli kosmetik atau apapun untukku. Aku sadar kami sedang susah ekonomi. Aku tidak ingin menyusahkan suamiku. 

Kesabaran dan keikhlasan mengajarkan ku untuk diam dan tidak banyak bicara. Aku mencoba serendah mungkin. Di mata keluarga besar aku berusaha tampil tidak mencolok dan mundur di barisan paling belakang. Di hadapan suamiku aku berusaha tersenyum. Seolah Aku sangat menikmati keadaan ini.

Hari berikutnya kami kembali ke Semarang, perjalanan melelahkan, aku sakit, muntah, dan tidak sehat.. Mama menyaranku untuk tetap di Smrg, namun hatiku berkata aku harus mendampingi suamiku. Ku pinta izin untuk kembali ke Jakarta bersama suamiku. Dan aku pun kembali.

Jakarta, 
Sebenarnya aku suka kota ini, namun tidak berminat kepadanya. Aku merasa kota ini bagai serigala berbulu domba. Banyak kejahatan terselubung di dalamnya, di jalan jalannya, di hati orang2 nya. Dan aku memutuskan untuk tidak terlalu terlibat di dalamnya. Aku tidak ingin mengakrabkan diri dengan kota ini. Aku memilih menutup diriku. Menahankan kesakitan, menikmati kehamilanku dan jam2 membosankan di kamarku. Kembali makan seadanya. Dan hidup sesederhana mungkin karena biaya kami habis untuk hunian dan fasilitasnya yg tidak murah.

Aku bahagia. Ada suamiku. Aku mencintainya, itu cukup membuatku bertahan. 

Hari berganti Minggu, kehamilanku membesar. Kami memutuskan untuk kembali Kerumah org tuaku di seberang pulau. Aku ditinggal disini. Dirumah kecilku tempat aku memupuk karir dan keluarga besar ku.  Manusiawi, aku senang. Dirumah ini tidak lagi ada batasan budaya karena ini rumah org tuaku. Namun kembali, batinku mengamuk.

Suamiku mengunjungi ku 2 Minggu sekali, keadaan ini tidak lebih buruk dari rumah mertuaku. Aku kehilangan. Sebagai seorang istri aku kehilangan suamiku. Aku kehilangnya raganya di sebelah ku, di ranjang kami.

Aku menderita, tanpa uang, tanpa suami, tanpa canda tawa yg dulu sering kami ukir di kamar saat kami bersama. Aku kehilangan. Dan ini berat. Jauh lebih berat daripada harus menahan lapar di Jakarta. Namun semua demi buah hati kami. Kami hanya ingin kandungan ku sehat dan bergizi.

Aku bertahan lagi dan lagi.. Dengan tekanan batin yg gak habis habis, aku bertahan.. Aku merasa seperti bola yg harus ikhlas di lempar ke manapun. Aku tak kuasa membantah. Karena aku tidak punya kekuatan apapun. Aku lemah dan sangat menyedihkan.

Berminggu2 aku habiskan di kamarku dengan bangun, tidur, sholat, Ngaji dan tidur Lg. Tidak ada menyentuh pakaian suamiku yg bau keringat, tidak menyentuh  Piring tempatnya makan, gelas tempatnya minum dan bantal tempatnya berbaring. Aku tidak bisa menciumnya, membisikkan kata2 harapan dan cinta ke telinganya.. Aku benar2 kesepian. Dan bosan. Karena apa yg bisa dilakukan oleh ibu hamil dan pengangguran seperti ku. Tidak punya uang dan tenaga untuk berlaku lebih. Aku diam dirumah. 24 jam X 7 hari.

Namun ada yg lebih menyakitkan, perhatian suamiku berkurang, dia tidak menanyakan kabar saat bangun pagi, tidak lagi menghubungiku sesering dahulu, tidak Lg menyanjung nyanjungku seperti saat kami berkenalan dulu. Dia tidak peduli akan penampilan ku, tidak menanyakan apakah aku bahagia atau tidak.. Suamiku hidup dengan dunianya Lg dan yg ku takutkan dia telah kembali menganggap dirinya sendiri Lg, dan tidak perlu cemas akan diriku karena ada org tuaku.. Dia tidak mengerti, betapa sekarang setelah menikah, aku lebih membutuhkannya lebih dari apapun. Aku butuh belaiannya, sapaannya, kasih sayanya padaku dan buah hati kami.. Dia tidak mengerti, karena jika dia benar2 mengerti, aku tidak akan semennderita ini.. 

Namun dibalik itu semua, aku tidak berani membantah suamiku. Aku ikhlas akan perlakuannya kepadaku. Aku marah, kecewa dan sangat sedih. Namun tiap kali aku ungkapkan kesepian dan kesedihan ku dia hanya akan mengganggap itu sementara, aku akan membaik nantinya. Dia tidak mengeri banyaknya penderitaan yg bertumpuk membuatku sakit. Aku terbenam dalam kesendirian yg Kusembunyikan darinya dan dari org tuaku.

Aku berusaha bahagia di depan mereka dan seolah semua baik baik saja. Tp tidak.. Aku semakin dilema. Aku merindukan suamiku yg dulu, yg peduli pada detik2 bermanfaat untuk mendengar suaraku. Yg tidak akan menyia-nyiakan waktunya untuk menghubungiku.. Aku merindukan suamiku yg dulu. Yg tidak marah2 saat aku marah, yg sabar dan sangat penyayang. Yg tidak hanya menjawab dengan alasan demi uang uang dan uang..
Aku tidak peduli dengan keuangannya , tentu saja tidak sepeduliku dengan dirinya, kehadirannya.. Intinya, sekarang aku sangat menderita dengan perlakuan dan pola fikir suamiku.

Aku menangis, dan tangisanku tidak di dengar suamiku.. Dalam doaku aku mendoakannya semoga Allah selalu melindunginya di manapun dia berada. Semoga Allah melimpahkan rahmat-Nya dan rezekinya. Pada suamiku. Aku berdoa agar kami dipersatukan kembali dalam ikatan yg sakinah, mawaddah, warahmah dan amanah, seperti janji pernikahan kami dulu. Dia akan membahagiakan ku lahir dan batin.

Kisah ini akan ku lanjutkan kembali... Sudah saatnya aku istirahat dan tidak menangis dulu sementara aku tidur untuk kesehatan calon bayi kami...